Jakarta – Kajian Muslimah di Masjid Daarut Tauhiid Jakarta bersama Ustadzah Erika Suryani Dewi Lc., MA. pada Sabtu (14/01) kembali mengangkat tema tentang kisah Sahabiyah.
Sebaik-baik generasi umat Islam adalah generasi Shahabat Ridhwanullah ‘alaihim. Para Shahabat telah menampakkan prestasinya dalam memperjuangkan eksistensi Diinul Islam di tengah masyarakat jahiliyyah saat itu. Peran penting tersebut juga diemban oleh para Muslimah di era Rasulullah ﷺ, yaitu para Shahabiyah.
Selain mendukung da’wah Islamiyah, para Shahabiyah juga bersumbangsih melahirkan generasi yang memiliki sifat mulia dan berani dalam membela agama Allah. Mereka terbentuk lewat madrasah Qur’aniyah yang mengikut jejak Sunnah Rasulullah ﷺ.
Dan tidak sedikit diantara Shahabiyah yang ikut terjun ke medan jihad guna mengobati para mujahidin yang terluka, dapur umum dan mengangkut jenazah para Syuhada’ dari tengan kancah pertempuran. Peran para Shahabiyah dalam mendukung suami yang berjihad, kontribusi dalam medan perang dan menghafalkan Hadits Rasul ﷺ adalah refleksi da’wah yang tidak harus melulu dari atas mimbar/podium.
Asma’ binti Abu Bakar, juga merupakan salah satu Sahabiyah yang turut serta dalam Perang Yarmuk bersama suaminya, Zubair bin Awwam, dan menunjukkan keberaniannya. Dia membawa sebilah belati dalam pasukan Said bin Ash di masa fitnah, lalu meletakkannya di balik lengan bajunya.
Muslimah yang lahir 595 Masehi dan wafat pada 692 Masehi—27 tahun sebelum hijrah Rasul ﷺ — itu adalah putri Khalifah Abu Bakar radhiallahuanhu dari Qutailah binti Abdul Uzza al Amiriyyah, yaitu istri Abu Bakar yang sudah diceraikan pada masa jahiliah. Mujahidah yang usianya lebih tua 10 tahun dibandingkan ‘Aisyah radhiallahuanha itu dikenal sebagai seorang yang dermawan. Asma’ adalah saudari istri Rasulullah, Aisyah radhiallahuanha, namun berbeda ibu. Ia adalah saudara kandung ‘Abdullah bin Abu Bakar. Putri Abu Bakar itu termasuk salah satu wanita di Kota Makkah yang pertama masuk Islam.
Pengabdian dan pengorbanan Asma’ membela agama Allah Ta’ala begitu besar. Tak heran jika ia digelari Rasulullah dengan julukan ”Dzatun Nithaqaini” (wanita yang memiliki dua ikat pinggang).
Ketika sudah bersembunyi selama tiga hari di Gua Tsur dari kejaran kaum Quraisy, Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar memutuskan untuk berangkat ke Madinah. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Asma’ lalu mempersiapkan perbekalan, makanan dan minuman untuk perjalanan Rasulullah ﷺ dan ayahnya, lalu membawanya ke Gua Tsur.
Akan tetapi, ia lupa tidak membawa tali untuk mengikatkan perbekalan tersebut ke tunggangan, sehingga ia membelah dua ikat pinggangnya. Satu potong itu digunakan untuk mengikat perbekalan ke tunggangan, sedangkan satunya lagi dipakai sebagai ikat pinggang. Ketika melihat apa yang dilakukan Asma’ ini, Rasulullah ﷺ lalu menggelarinya “Dzaatun Nithaaqain” (yang memiliki dua ikat pinggang).
Ternyata, semua peristiwa itu terjadi ketika Asma’ dalam keadaan hamil. Bahkan suaminya, Zubair bin ‘Awwam telah lebih dulu hijrah bersama kaum Muslimin lainnya, sebagaimana perintah Rasulullah ﷺ.
Begitu besar pengorbanan dari wanita perkasa bernama Asma ini. Dan semua itu dilakukannya dengan ringan dan ikhlas, karena kecintaannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Asma’ mempunyai jiwa yang dermawan dan mulia tidak pernah menunda sesuatu hingga esok hari. Pernah suatu ketika dia jatuh sakit, kemudian dia segera membebaskan (memberikan) seluruh harta yang dipunyainya. Dulu dia pernah berkata pada anak-anak dan keluarganya, “Berinfaklah kalian, dan bersedekahlah, dan jangan kau menunda keutamaan. Jika kalian menunda keutamaan, kalian tidak akan pernah mendapatkan keutamaan. Dan jika kalian memberi sedekah, kalian tidak akan kehilangan.” (DKM DT JKT)