Jakarta – Seringkali tuntutan masyarakat kepada para orang tua baru adalah menjadi orang tua super. Hal inilah yang menjadikan orang tua stres. Super Mom dan super Dad. Padahal bisa jadi kita sebagai orang tua kita juga membutuhkan support.
Sebenarnya yang diajarkan Al Qur’an adalah menjadi orang tua yang cerdas, yaitu orang tua yang berilmu. Dengan ilmu itulah orang tua memahami cara mengatasi masalah atau tantangan dalam menjalankan pengasuhan dan pendidikan anak. Bisa jadi kita merasa menghadapi masalah sebenarnya hal itu karena kita belum tau ilmunya.
Cerdas sebagai orang tua yang dimaksud tidak berpatokan pada latar balakang pendidikan atau gelar. Cerdas di sini adalah paham akan perannya sebagai orang tua sehingga dapat mengatasi masalah dan tantangan yang ada.
Kajian ‘Amazing Parents’ bersama Ustadz Bendri Jaisyurrahman merupakan kajian rutin bulanan yang diadakan Masjid DT Jakarta. Kajian kali ini membahas tentang kiat menjadi orang tua cerdas. Ustadz Bendri menyampaikan prinsip-prinsip yang perlu dipahami untuk menjadi orang tua cerdas.
Prinsip pertama menjadi orang tua yang cerdas adalah mengenal kapasitas diri. Dengan mengenali potensi diri, maka orang tua tidak memaksakan diri melewati batas kemampuannya dalam menahan beban. Diantara pertanyaan yang dibutuhkan dalam mengenal kapasitas diri adalah apakah kita punya trauma pengasuhan dari orang tua kita? Apakah kita punya asupan yang positif dari orang tua kita?
Emosi adalah hal utama yang diserap oleh anak, khususnya sebagai ibu. Sehingga sebagi orang tua harus punya strategi menjaga emosi tetap positif agar dapat memberikan energi yang positif pula ke anak.
Kedua setelah kita kenali diri, kita kenali pula supporting system. Supporting system yang utama adalah pasangan kita. Kenali juga bagaimana sejarah pengasuhan pasangan dan juga menyamakan pemahaman akan pola asuh. Selain pasangan kita juga harus mengenali supporting system lain yakni lingkungan pendukung pengasuhan anak, seperti orang tua kita, atau orang-orang di lingkungan tempat tinggal kita.
Ketiga, kita harus memahami kondisi anak. Tentu berbeda mendidik anak tunggal dengan anak yang kedua atau ketiga. Berbeda juga mendidik anak yang berkebutuhan khusus. Pendidikan anak laki-laki dan perempuan juga berbeda. Kita juga perlu mengenali kebutuhan pendidikan sesuai tumbuh kembang anak. Mendidik sesuai dengan perkembangan usia anak juga mengenali tabiat anak yang dibawa sejak lahir.
“Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS. Al Isra: 84)
Berdasarkan ayat tersebut, manusia diciptakan bertindak berdasarkan karakter/tabiatnya. Rasulullah juga memperlakukan para Sahabat sesuai dengan tabiatnya masing-masing.
Begitu juga mengenali kondisi emosi anak, memberi nasehat di waktu yang tepat. Kita harus tau kapan anak sedang sedih atau bahagia. Hasil dari analisis kondisi-kondisi tersebut adalah pola asuh anak. Pola pengasuhan itu unik, tiap anak berbeda, maka kita tidak bisa memaksakan menyamakan kondisi pendidikan ke setiap anak. Jangan sampai dzolim kepada anak dengan menyamakan anak satu dengan yang lain. (Iyiz)